Oleh:
Prof. Dr. H. Sumper Mulia Harahap, M.Ag
Ketua STAIN Mandailing Natal
Panyabungan - Selasa, 10 Oktober 2023. Diskursus tentang santri tidak akan pernah habis diperbincangkan. Hal ini karena santri sejak awal telah menjadi bagian penting dalam pranata kehidupan bangsa sebelum dan setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Untuk melihat bagaimana peran dan perjalanan santri dalam mendobrak dan mengisi kemerdekaan Indonesia hingga sekarang, setidaknya dapat dibaca pada beberapa hal.
Pertama, dalam konteks kehidupan sosial, kedatangan Islam ke Nusantara pertama sekali menjadi embrio lahirnya entitas santri. Dengan metode halaqah dan strategi dakwah dengan pendekatan budaya, para ulama dari lintas negara berhasil mengajarkan Islam yang ramah serta memberi solusi pencerahan atas problem kehidupan masayarakat di Nusantara. Para pengikut ulama inilah yang kemudian secara terminologis disebut dengan santri.
Santri sendiri secara leksikal berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “shastri” yang berarti orang yang tekun dalam mempelajari kitab suci (Dhofier, 1985). Sementara dalam bahasa Arab, santri disebut berasal dari kata “santaro” menutup. Santri dalam hal ini adalah orang yang senantiasa belajar bukan justru menutup (Sahal Mahfudz, 1999). Sejalan dengan itu, santri juga dikaitkan dengan bahasa Jawa yaitu “cantrik” orang yang senantiasa mengikuti gurunya (Madjid, 1999). Oleh karenanya kehidupan santri selalu meneladani nasehat dan tindakan kyai an sich serta mendalami ilmu pengetahuan.
Dilakukannya pertemuan-pertemuan rutin pada suatu halaqah oleh para santri dan kyai, tidak saja mempelajari bagaimana seorang muslim beribadah dan menjalankan praktek syariat agama dengan baik, namun juga mendiskusikan bagaimana membebaskan diri dari penjajahan yang membelenggu nilai-nilai kemanusiaan.
Berangkat dari semangat ketauhidan yang dipelajari dari para kiyai, para santri sejak awal sesungguhnya telah mengawali gerakan pencerahan kepada masyarakat agar berani melawan tirani dan penindasan para kolonial. Dengan tauhid terpancarlah semangat juang kaum santri untuk memerdekakan diri dari penjajahan kolonial.
Munculnya tokoh-tokoh nasional seperti KH Hasyim Asy’ari (NU), KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan KH Ahmad Hassan (Persis) dalam melakukan gerakan pembebasan dari penjajahan sejatinya mereka berangkat dari suatu kesadaran pentingnya ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, lembaga pendidikan Pesantren dan sekolah-sekolah Islam lainnya didirikan dengan membawa misi perubahan kehidupan bangsa agar terbebas dari belenggu kebodohan dan penjajahan.
Pesantren sebagai lembaga Pendidikan Islam, selain menjaga nilai-nilai keagamaan juga menjadi satu-satunya tameng masyarakat terhadap kaum kolonialis yang silih berganti menjajah Indonesia. Dengan pengaruh dan kharismatik kyai, pesantren berfungsi sebagai pusat politik gerakan protes dan perlawanan terhadap imperialisme pada saat itu (Kartodirdjo, 1973).
Dari Pendidikan pesantren inilah kemudian lahir santri-santri hebat dalam bidang agama, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Perjuangan santri dalam bidang sosial-ekonomi untuk persatuan Nasional terlihat dari organisasi Syarikat Islam. Organisasi yang awalnya bernama Syarikat Dagang Islam yang didirikan oleh KH. Samanhudi (1868-1956) ini bergerak untuk memperjuangkan perdagangan umat Islam agar mampu mengendalikan atau setidaknya menyeimbangi monopoli yang dilakukan oleh kolonial Belanda.
Pada Kongres Nasional pertama pada 1916 setelah berubah menjadi Syarikat Islam, organisasi yang dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto ini dengan keras menyatakan kehendak bangsa Indonesia untuk membentuk pemerintahan sendiri yang bebas dari penjajahan Hindia Belanda. Dari perjuangan inilah kemudian lahir kesadaran Nasionalisme dan persatuan bagi setiap suku bangsa di seluruh penjuru Nusantara untuk merdeka.
Dengan semangat dan kesadaran nasionalisme yang tinggi kaum santri, perjuangan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan tidak saja dilakukan dengan gerakan sosial dan pendidikan, tapi juga perjuangan fisik melawan penjajah.
Bergerilyanya kaum santri di Surabaya pada 10 November 1945 melawan serangan penjajah menjadi sejarah penting bangsa Indonesia untuk kaum santri. Diawali dari resolusi jihad yang diserukan KH. Hasyim Asy’ari (22 Oktober 1945), para ulama dan santri di seluruh penjuru Nusantara berangkat ke medan perang untuk melawan penjajah Belanda yang ingin merebut kemerdekaan Indonesia.
Di bidang politik para santri juga mengambil peran dalam merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia. Dalam organisasi Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), peran santri dalam hal ini diwakili oleh KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Mas Mansyur, dan Ki Bagus Hadikusumo. Hal ini membuktikan, hampir di setiap lini kehidupan, santri berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Menumbuhkan Semangat Santri
Santri dalam khazanah Indonesia secara faktual merupakan pendobrak kemerdekaan. Santri telah menjadi sub-kultur dalam kehidupan sosial bangsa kita. Oleh karenanya, semangat kesantrian harus selalu hidup di tengah kehidupan bangsa. Berdasarkan aktivitas dan budaya hidup santri, setidaknya ada tiga nilai fundamen yang dapat dipetik dalam membenahi kehidupan bangsa.
Pertama, menjaga dari perbuatan maksiat. Santri dicirikan dengan istiqomah dalam menjaga dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Hal ini dicerminkan dari penjagaan diri dari perbuatan maksiat. Dalam proses penjagaan ini, pandangan santri selalu mengarah pada hal-hal yang baik dan berfaedah.
Di tengah proses modernisasi kehidupan bangsa dan negara saat ini, nilai-nilai fundamen beragama sering tergadaikan demi ambisi meraih kemajuan/kemenangan. Pertimbangan moral sering dinomorduakan atau paling tidak hanya menjadi slogan semata. Di tengah itu, kemaksiatan pun muncul dengan cara dan bentuk yang beraneka ragam. Perzinaan, pemerkosaan, perampokan dan berbagai jenis kemaksiatan lainnya di kalangan pelajar sudah tidak asing lagi kita dengar. Atas dasar itu maka nilai-nilai kesantrian dalam menjaga diri perlu diketengahkan agar bangsa kita tidak terjerumus pada dosa besar sosial yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan negeri kita tercinta.
Kedua, sibuk telaah ilmu. Santri dalam kesehariannya senantiasa disibukkan dengan pencarian dan penggalian ilmu pengetahuan. Dimulai dari proses pembelajaran di kelas; kemudian disambung dengan mudzakaroh (mengulang dan mendalami kaji) di pondok/asrama; kemudian dilanjut dengan praktik/latihan di malam hari menunjukkan hampir 24 jam kehidupan santri sibuk untuk urusan ilmu pengetahuan. Dalam proses pencarian ini sifat tawadu’ ditunjukkan santri agar selalu merasa kurang terhadap ilmu pengetahuan.
Semangat mudzakaroh dan telaah ilmu ini menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan bangsa kita saat ini. Pasalnya, kecenderungan masyarakat kita dalam belajar selalu ingin memperoleh ilmu secara instan. Pada akhirnya ilmu yang diperoleh pun dangkal dan tidak sedikit yang jauh dari kebenaran. Lahirnya radikalisme dan terorisme sejatinya diawali dari cara belajar yang instan, mengambil kesimpulan sendiri tanpa bimbingan guru, terlebih ilmu agama yang pada dasarnya menuntut penggunaan metodologi keilmuan yang mapan.
Tidak heran jika kelompok-kelompok terorisme atau pihak-pihak yang ingin mendirikan negara khilafah di negara kita sesungguhnya berasal dari mereka yang tanpa memiliki semangat mudazkaroh dan telaah ilmu sebagaimana yang dipraktikkan para santri di pesantren-pesantren yang ada.
Ketiga, kemandirian. Sudah tidak diragukan lagi kemandirian merupakan sikap dasar santri. Berpisah dari keluarga dalam menuntut ilmu menjadikan santri terbiasa menyelesaikan permasalahan hidup sendiri. Para santri di banyak pondok pesantren, demi mendalami ilmu bahkan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Terkadang hal tersebut bukan semata ekonomi keluarga tidak mampu, namun lebih karena sikap santri yang tidak ingin membebani keluarganya.
Bangsa kita patut berbangga memiliki entitas santri sebagai sub-kultur Indonesia. Peran santri dalam mendobrak lahirnya kemerdekaan Indonesia telah dibuktikan melalui perjuangan pikiran, jiwa dan raga. Peringatan hari santri setiap tanggal 22 Oktober yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo sejak 2015 lalu seharusnya menjadi cerminan bangsa kita apakah kita benar-benar telah meneladani semangat dan nilai-nilai kesantrian dalam membangun bangsa.
Ayo Semangat! STAIN MADINA Menuju IAIN. (Tim Humas)